Waspadai Anak Di Era Generasi Z.
Kelompok era Generasi Z atau yang disingkat dengan (Gen Z) adalah mereka yang lahir pada rentang tahun 1998—2014. Generasi ini merupakan orang-orang yang telah berusia 5—20 tahun dan hidup dalam masa digital yang sudah berkembang secara maju dewasa ini.
Mengenai generasi pendahulunya, yaitu generasi Milenial (Gen Y) sudah sering dibahas, kini saatnya untuk membahas generasi berikutnya, yaitu generasi Z. Generasi yang lahir pada tahun 1998 dan seterusnya, mereka ini juga disebut dengan Generasi NET.
Generasi NET lahir di saat internet telah berkembang pesat dalam kehidupan manusia. Mereka lahir tanpa mengetahui masa kehidupan sebelum adanya internet, komputer, dan telpon selular. Dengan kata lain, generasi ini lahir pada era digital yang sudah maju.
Psikolog Elizabeth T. Santosa dalam bukunya yang berjudul "Raising Children in Digital Era" mencatat ada 7 karakteristik generasi yang lahir di era digital ini. Berikut ini beberapa karakteristik generasi Z tersebut:
1. Generasi Z Punya Ambisi Besar untuk Sukses
Ilustrasi Antusiasme seorang ibu saat Mendengar Ide Sang Anak. (Sumber gambar: kesekolah.com)
Anak dari generasi memiliki ambisi besar untuk sukses, dikarenakan semakin banyaknya model yang mereka idolakan. Ambisi untuk menggapai mimpi ini juga didukung oleh kondisi dunia yang lebih baik, dan kondisi orang tua saat ini yang mayoritas jauh lebih mapan secara ekonomi keluarganya. Sebenarnya ambisi atau goals inilah yang diperlukan anak sejak dini. Tugas orang tua itu mendefisinikan goals atau cita-cita anaknya secara terarah dan jelas.
2. Anak Generasi Z Berperilaku Instan dan Serba Praktis
Ilustrasi Anak Sarapan Pagi. (Sumber gambar: orami.co.id)
Generasi Z menyukai pemecahan masalah yang lebih praktis. Mereka enggan dengan proses panjang untuk mencermati suatu masalah. Dikarenakan mereka lahir di zaman yang serba instan.
Nahh, coba anda perhatikan “kids zaman now”, dari awal mulai bangun tidur, makan, ke sekolah, belajar, semua serba instan. Misalnya saat sarapan pagi sudah tersedia sarapan dan kopi instan siap saji bagi mereka. Simpel banget kan? Perlu diperhatikan, dalam menjalani hidup itu manusia dapat berperilaku praktis saat memecahkan permasalahan, namun ada juga proses-proses yang terkadang menghabiskan waktu yang tidak cepat. Oleh karena itu, para orang tua sebaiknya mendidik anak-anaknya tentang konsep proses, daya tahan, dan komitmen dalam menyelesaikan berbagai masalah yang kemungkinan ditemuinya”.
3. Generasi Z Menginginkan Kebebasan
Warna dan model rambut anak mewarisi gen ayah. (Sumber gambar: lifestyle.kompas.com)
Generasi Z menyukai kebebasan, baik itu kebebasan berpendapat, kebebasan berkreasi, kebebasan berekspresi, dan lain sebagainya. Mengapa seperti itu? Hal ini dikarenakan mereka ini memang terlahir di dunia modern, di mana rezim tirani otoriter tidak memiliki kekuasaan lagi untuk mengontrol penduduknya secara sewenang-wenang.
Misalnya saja, dalam hal peraturan di rumah, anak-anak ini tidak suka diberi perintah tanpa ada penjelasan yang logis. Oleh sebab itu, para orang tua perlu memberikan penjelasan logis terhadap peraturan yang berlaku di rumah.
4. Generasi Net Lebih Percaya Diri
Anak akan mewarisi sifat dan selera humor ayahnya. (Sumber gambar: LINE Today)
Karakteristik generasi Z yang selanjutnya adalah percaya diri. Anak-anak yang lahir di generasi ini cenderung memiliki kepercayaan diri yang sangat tinggi. Mereka memiliki sikap optimistis dalam banyak hal. Mental positif yang seperti ini menjadi hal utama dalam hidup, yaitu bisa melihat permasalahan dari sisi positif.
Para orang tua diminta untuk berhati-hati, jangan sampai menjatuhkan rasa percaya diri mereka saat memberi masukan. Orang tua perlu memberikan lingkungan yang baik agar kepercayaan diri dan kompetensi diri anak tumbuh baik pula. Misalnya, Anda turut mendampingi anak saat belajar di rumah di kala mereka menempuh ujian, sampai mereka mendapatkan hasil yang memuaskan, sehingga dapat meningkatkan kompetensi anak dalam bidang akademiknya.
5. Anak Gen Z Menyukai Hal yang Bersifat Rinci
Mereka tak hanya memiliki kepercayaan diri yang tinggi, anak-anak era NET juga menyukai hal yang detail. Generasi Z termasuk generasi yang cenderung kritis dalam berpikir dan detail mencermati suatu permasalahan yang ada di sekelilingnya.
Di zaman sekarang, mencari informasi sangatlah mudah, Anda hanya perlu mengklik tombol search engine. Kemudian menulis topik yang ingin ditelusuri melalui google search engine, maka terbukalah jendela dunia yang berisi segala informasi dan gambar yang berkaitan dengan topik tersebut. Makanya, tak heran mengapa anak-anak zaman sekarang itu menjadi kritis.
6. Anak Gen Z Ingin Mendapatkan Pengakuan
Ilustrasi Ibu dan anak remaja perempuannya. (Sumber gambar: suarasurabaya.net)
Pada dasarnya setiap orang pasti memililki keinginan agar diakui atas kerja keras, usaha, dan kompetensi yang telah didedikasikannya. Namun, anak-anak ini cenderung ingin diberikan pengakuan dalam bentuk reward seperti (pujian, hadiah, sertifikat, penghargaan, dan sebagainya), atas pencapaian, kemampuan dan eksistensinya sebagai individu yang unik.
7. Generasi Z Akrab dengan Dunia Digital dan Teknologi Informasi
Generasi NET atau generasi Z. (Sumber gambar: edukasi.kompas.com)
Sesuai dengan namanya, Gen Z atau NET lahir saat dunia digital mulai merambah dan berkembang pesat di dunia. Generasi ini sangat mahir dalam menggunakan segala macam gawai yang ada, dan menggunakan teknologi dalam berbagai rutinitas serta fungsi sehari-hari.
Mereka lebih memilih berkomunikasi melalui dunia maya dan media sosial ketimbang bertatap muka dengan orang lain. Sisi positifnya, mereka menjadi bagian dari komunitas berskala besar dalam sebuah jaringan media dan teknologi tanpa mengenal satu sama lain melalui internet. Namun, sisi negatifnya mereka memiliki kemampuan komunikasi publik, hubungan relasi, kehidupan sosial yang cukup rendah”.
Itulah 7 karakteristik pada anak generasi Z. Apakah ciri-cirinya sudah tampak mirip dengan karakter kamu gaes?
Internet hadir di Indonesia pada tahun 1990. Pada tahun 1994, Indonet hadir sebagai Penyelenggara Jasa Internet komersial perdana di negeri kita. Jadi, mari kita anggap Generasi Z Indonesia adalah mereka yang lahir pada tahun 1998 sampai pada tahun 2014.
Jika Generasi Z pertama adalah mereka yang lahir pada 1998, artinya orang yang paling tua dari Generasi Z Indonesia kini telah berumur 20 tahun: mereka sudah beranjak dewasa, sudah ikut pemilu, mencari atau sudah punya pekerjaan, dan hal-hal lain yang bisa memengaruhi ekonomi, politik, dan kehidupan sosial dunia masa kini.
Pada dekade terakhir, Generasi Z terus diteliti. Dari preferensi politik, ekonomi, hingga gaya hidup. Sebab, di dunia ini, belum pernah ada generasi yang sejak lahir sudah akrab dengan teknologi seperti pada generasi Z ini.
Sejauh ini, Generasi Z dikenal sebagai karakter yang lebih tidak fokus dari milenial, tapi lebih serba-bisa; lebih individual, lebih global, berpikiran lebih terbuka, lebih cepat terjun ke dunia kerja, lebih wirausahawan, dan tentu saja lebih ramah teknologi.
Kedekatan generasi Z dengan teknologi, sekaligus membuktikan bahwa masa depan sektor tersebut akan semakin cerah di tangan mereka. Dari segi ekonomi, menurut survei Nielsen, Generasi Z sudah memengaruhi perputaran ekonomi dunia sebagai 62 persen konsumen pembeli produk elektronik. Ini dipengaruhi oleh kehidupan mereka yang sudah serba terkoneksi internet.
“Generasi Z adalah generasi yang paling berpengaruh, unik, dan beragam dari yang pernah ada,” kata Blakley dalam wawancaranya dengan Forbes.
Blakley bisa jadi benar bahwa kita tak bisa terus menyamakan Generasi milenial dengan Generasi Z. Kebanyakan dari generasi milenial adalah orang-orang yang setengah-setengah: setengah menikmati era sebelum internet, dan era sesudahnya. Bagi mereka, Wallstreet, Bioskop, Yahoo, Vinyl, dan barang lain yang khas generasi 90-an masih menarik. Sedangkan bagi Generasi Z, Netflix, Virtual Reality, dan Video Games jauh lebih banyak variannya yang sangat menarik.
Ilustrasi Anak yang menjadi YouTuber. (Sumber gambar: makassar.terkini.id)
Sebanyak 34,1 % dari generasi Z mengakses internet per hari selama 3-5 jam dan aplikasi yang paling sering digunakan dan dikunjungi adalah Instagram. Adapun plikasi lainnya yang paling sering diakses adalah Line sebanyak 45,4 %, Google Tools sebanyak 42,1 %, dan YouTube sebesar 39,4 %.
Menurut hasil dalam riset "Getting to Know Gen Z: How The Pivotal Generation is Different From Millennials" yang dilakukan oleh Barkley dan FutureCast. Aplikasi Instagram menjadi sumber dan tempat inspirasi bagi Generasi Z. Mereka menghabiskan waktu untuk menyunting gambar dan menciptakan versi paling aspiratif dari diri mereka sendiri. Itulah sebabnya mengapa aplikasi ini begitu disukai oleh Generasi Z.
Selain itu, ada anggapan bahwa menjadi YouTuber bisa mendatangkan uang dengan mudah. Padahal, menjadi Youtuber tidak sesederhana yang terlihat. Seperti yang dinyatakan oleh Kevin Hendrawan – salah satu selebritas media sosial paling berpengaruh saat ini, YouTuber pun harus menutup biaya produksi yang bisa membuat kantong bolong.
Adapun Risiko lainnya adalah pekerjaan tersebut bisa hilang, apabila pemerintah menutup situs Youtube. Risiko ini sudah disinggung dalam penelitian yang dilakukan oleh Mathias Bärtl pada 2018 di Amerika Serikat. Menurut Bärtl, 96,5 persen dari semua yang mencoba menjadi YouTuber tidak akan menghasilkan cukup uang dari iklan untuk memecahkan garis kemiskinan di Amerika Serikat.
Sementara keinginan menjadi gamer begitu digandrungi oleh Generasi Z laki-laki. Pekerjaan tersebut menempati peringkat kedua (14,3 persen) setelah dokter (15,1 persen). Angka pemain games dari Generasi Z juga semakin meningkat; ini dipengaruhi harga konsol, akses internet, dan pertumbuhan mobile game yang sedang naik daun saat ini untuk dijadikan pekerjaan. Salah satunya adalah Aaron ‘Mindfreak’ Leinhart yang mulai meniti karier sebagai gamer sejak usia 14 tahun.
Setiap generasi memang memiliki karakteristik yang unik, termasuk generasi Z. Saat ini generasi Z juga sering diidentikkan dengan karakteristik sebagai berikut:
Skeptis dan sinis, Tidak seperti generasi para pendahulunya yang berjuang demi idealisme, generasi Z justru lebih skeptis dan sinis. Sikap yang dimaksud adalah perilaku yang mengutamakan realita dalam pengambilan keputusan. Generasi ini akan mengutamakan kebutuhannya sebagai suatu dasar untuk menentukan sesuatu.
Menjunjung tinggi privasi, Sang generasi Z tidak suka bila sepak terjangnya di media sosial dilacak orang lain. Hal itu ditunjukkan dengan menurunnya jumlah pengguna Facebook dari kalangan generasi Z. Sementara media sosial yang sifatnya lebih privat seperti SnapChat dan Instagram justru makin digandrungi. Rupanya generasi Z hendak bebas berekspresi di media sosial tanpa terusik oleh opini/komentar orang lain.
Kemampuan multi-tasking yang hebat, Generasi ini mampu memaksimalkan kemampuan multi-tasking bahkan lebih dari 4 media berbeda sekaligus. Misalnya, mereka mampu mengetik di laptop sembari mendengarkan lagu dari internet, mengakses media sosial melalui gawai, mencari referensi penting untuk menyelesaikan tugas, dan menonton TV.
Ketergantungan terhadap teknologi. Bagi generasi Z, teknologi berada di genggaman tangan bisa diibaratkan seperti udara dan air. Generasi Z tidak mampu hidup dengan baik jika tidak didampingi oleh teknologi. Mereka merasa kalau teknologi telah membuat mereka mudah terhubung satu sama lain dan mudah mengakses berbagai informasi penting setiap waktu.
Keinginan untuk berwiraswasta, Para ahli memprediksi bahwa 72% generasi Z ingin masuk ke dunia kerja sebagai seorang wiraswasta. Sebab generasi Z memiliki kemampuan analisis pasar dan tekad yang besar untuk menjadi seorang pebisnis mandiri.
Intoleransi. (Sumber gambar: pinterpolitik.com)
Generasi Z Indonesia adalah anak-anak Indonesia yang lahir mulai tahun 1998, mereka yang saat ini duduk di sekolah menengah umum dan di Perguruan Tinggi, merekalah wajah Indonesia di masa depan.
Kita tidak menghawatirkan bagaimana kualitas dari pendidikan di Indonesia, kualitas dan kuantitas lembaga pendidikan formal di Indonesia terus diupayakan oleh pemerintah baik pusat dan daerah. Sumber daya manusia kita hampir merata sampai ke seluruh pelosok negeri dari Sabang sampai Merauke. Putra-putri terbaik bangsa sudah sering mengharumkan nama Bangsa di ajang Olimpiade-olimpiade sains dunia, sudah banyak prestasi membanggakan, meskipun masih ada beberapa daerah yang tertinggal dari segi pendidikan formal dan sosialnya.
Namun ada yang lebih menghawatirkan lagi mengenai generasi ini, khususnya generasi Z Muslim, mayoritas dari mereka beragama Islam, Islam menjadi agama mayoritas di Negara kita ini. Ada temuan yang sangat mengejutkan, hasil survey Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, bahwa pengaruh intoleransi dan radikalisme menjalar ke banyak sekolah dan Universitas di Indonesia.
Dikatakan bahwa Lebih dari separuh pelajar dan mahasiswa responden survei PPIM UIN Jakarta memiliki opini intoleran terhadap kelompok agama minoritas sekaligus cenderung terpengaruh gagasan keagamaan yang radikal. Ini sangat menghawatirkan, karena pandangan keagamaan yang demikian pada generasi Z kita, akan mewarnai sikap dan pemaknaan beragama bagi mereka di masa yang akan datang.
Perlu kita Ingat bersama, bahwa Intoleransi tidak bisa menerima perbedaan, menilai bahwa yang lain dari mereka adalah salah, ini adalah semaian radikalisme, jika intoleransi hanya pada pandangan, hanya pada pola pikir, ketika sudah kuat dan mempunyai power, maka Intoleransi akan menjadi sebuah tindakan, ini yang dinamakan radikalisme, dan yang paling mengerikan adalah, kristalisasi dari radikalisme akan melahirkan sebuah ancaman serius bagi kita semua, yang bernama terorisme.
Intoleransi dimulai dari pemaknaan terhadap agama, jika agama dimaknai dengan sempit, konservatif dan tekstual, maka akan menghasilkan sikap Intoleran terhadap yang berlainan keyakinan dengan kita. Ini sangat bertolak belakang dengan keadaan bangsa kita yang sangat beragam, pluralitas keberagamaan di Indonesia adalah sebuah keniscayaan, toleransi merupakan suatu syarat mutlak untuk sebuah kemajemukan beragama di Indonesia.
Ada sisi-sisi dalam hukum yuridis Islam yang dimaknai sempit dan tekstual oleh mereka, misal, tentang bagaimana memaknai Jihad, Lebih sepertiga generasi Z kita, sebanyak 37.71 %, setuju bahwa jihad sama dengan qital, sama dengan membunuh, perang melawan non muslim mereka setuju.
Hal tersebut sangatlah menghawatirkan, harusnya Jihad dalam agama bagi mereka, bagaimana mereka bisa bisa memaknai bahwa jihad dalam urusan agama, membunuh orang Musyrik yang dahulu dilakukan oleh pejuang-pejuang Islam, sudah tidak lagi relevan dengan keadaan saat ini, dimana kedamaian dunia sudah terbangun, tak ada lagi yang berperang melawan Islam, kenapa Jihad selalu dimaknai dengan membunuh? Mereka belajar dengan tekun dan berusaha membawa nilai-nilai luhur Islam yang harus menjadi damai bagi semesta, itulah jihad yang sesungguhnya.
1 dari 5 remaja muslim kita setuju bahwa teror bom bunuh diri adalah jihad Islam, sebanyak 23,35 % dari mereka setuju, bahwa aksi-aksi terorisme adalah bentuk dari jihad, ini sangat berbahaya, terorisme tak dibenarkan dalam agama manapun, terlebih dalam Islam, pemaknaan yang sesat terhadap Agama, yang akhirnya menciptkan sebuah gerakan-gerakan berbahaya untuk keamanaan dunia, ini seharusnya dimaknai benar bagi generasi Z kita.
Sepertiga Generesi Z setuju, orang yang murtad harus dibunuh, sebanyak 34,03 % mereka beranggapan orang yang keluar dari Islam harus dibunuh, ini sangat menghawatirkan, mental sepertiga generasi Z kita adalah mental membunuh dan dipenuhi oleh rasa kebencian terhadap yang tak sama dengan mereka.
Parahnya lagi, Sepertiga generasi Z menganggap tak masalah pada Perbuatan Intoleran pada minoritas, sebanyak 33,34 % beranggapan bahwa sikap-sikap Intoleransi adalah bukan masalah, artinya, mereka beranggapan bahwa Intolernasi pada minoritas adalah hal yang benar dan sah untuk dilakukan.
Hal yang biasa dan bahkan harus mereka lakukan, padahal Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia, harus menjadi payung teduh bagi minoritas yang ada, perbedaan agama bagi masyarakat Indonesia adalah sebuah keniscayaan yang tak bisa ditawar lagi, setiap pemeluk agama yang ada, harus memaknai bahwa perbedaan adalah bukan permusuhan, bahwa perbedaan adalah hal yang harus dimaknai sebagai sebuah anugerah indah dari Sang Pencipta bagi kita semua.
Sekolah-sekolah menengah umum dan perguruan tinggi punya pengaruh besar terhadap pemaknaan beragama yang sangat miris ini. Para pengajar bidang studi agama Islam, punya peran sentral bagaimana menjelaskan pada mereka semangat-semangat Islam yang rahmatan lil alamin, apa jangan-jangan pengajar studi agama Islam juga terpapar Intoleransi? Jawabannya adalah “Iya”, lantas apakah pembuat materi di Kementrian sana juga terpapar Intoleransi? Karena buku-buku pelajaran Islam di SMU juga mengajarkan tentang Intoleransi? Jawabannya “Iya”.
Karena Survei tersebut menunjukkan sebanyak 48,95 % responden siswa/mahasiswa merasa pendidikan agama mempengaruhi mereka untuk tidak bergaul dengan pemeluk agama lain. Lebih gawatnya lagi, 58,5 % responden mahasiswa/siswa memiliki pandangan keagamaan pada opini yang radikal. Sungguh mengkhawatirkan sekali bukan?
Sudah saatnya semua bergerak dan akan keresahan ini, hal ini bisa dikerjakan bersama, dari Kementrian agama, perguruan tinggi, sekolah dan orang tua, masyarakat, organisasi Islam, harus secara satu kesatuan menghadapi masalah ini, jika tidak, maka generasi mendatang kita akan menjadi generasi yang intoleran, bahkan radikal, sangat bertolak belakang dengan semangat-semangat Islam yang sebenarnya, semangat bahwa Islam adalah damai bagi semesta.
Survei ini menggunakan alat ukur kuesioner digital dan implicit association test terhadap 1.522 siswa, 337 mahasiswa, dan 264 guru di 34 provinsi. Pada tiap provinsi di Indonesia diwakili oleh satu kabupaten dan satu kota yang dipilih secara random.
Ilustrasi Anak yang kecanduan smartphone atau gadget. (Sumber gambar: kabargames.id)
Berdasarkan laporan penelitian yang dipublikasi Motorola, 53% remaja yang dikategorikan sebagai Generasi Z menganggap ponsel layaknya teman baik mereka sendiri. Generasi ini dikategorikan sebagai kaum yang melek terhadap informasi dan teknologi, karena dibesarkan bersama dengan perkembangan digital. Bagaikan teman baik yang tak dapat dipisahkan, para remaja generasi Z tidak bisa jauh dari ponsel/smartphonenya.
Menurut pengakuan mereka, 3 dari 4 generasi Z merasa panik ketika kehilangan ponselnya. Alhasil, enam dari sepuluh generasi Z cenderung lebih sering memeriksa ponselnya daripada kelompok usia lainnya. Parahnya lagi, sebagian besar dari mereka tidak menyadari bahwa mereka sedang kecanduan. Sebab hanya 44% dari mereka mengaku sadar jika menghabiskan terlalu banyak waktu bersama ponselnya. Sisanya menganggap hal tersebut sebagai sesuatu yang wajar.
Tak hanya itu, 66% dari mereka bahkan merasa baik-baik saja dengan perilakunya selama ini. Hanya 34% generasi Z yang menyadari bahwa mereka bisa lebih bahagia jika menghabiskan waktu lebih sedikit dengan gawai-nya.
Perlu kita ketahui bersama bahwa, ketergantungan terhadap smartphone seringkali dikaitkan dengan sejumlah penyakit, seperti dikutip KompasTekno dari Android Authority, Sabtu (24/2/2018). Di antaranya adalah gangguan tidur, gangguan fungsi memori, depresi, hingga mengakibatkan kematian.
Ilustrasi Tsunami Digital. (Sumber gambar: digit.in)
Dilansir dari laman Surya.co.id, Gubernur Jawa Timur terpilih periode 2019-2024 Khofifah Indar Parawansa mengingatkan orang tua dan anak-anak tentang pentingnya waspada terhadap tsunami digital.
Pasalnya perkembangan era teknologi digital membuat masyarakat lebih memilih mendapat akses informasi melalui gadget. Jika tidak proses penyaringan informasi maka justru akan membawa dampak negatif pada orang tua maupun anak-anak.
"Semua Wajib Waspada ada Tsunami Digital. Sekarang masyarakat itu serba gadget, baca koran lewat gadget, bahkan nonton televisi juga lewat gadget yang mereka pegang," kata Khofifah, Rabu (8/8/2018) dikutip dari Kompas.com. Oleh sebab itu, Ia mengingatkan ibu-ibu dan anak-anak sekolah di Jawa Timur untuk bijaksana dalam memanfaatkan gadget mereka. Terutama yang sudah memberikan anak-anak mereka gadget untuk dioperasikan dan digunakan oleh sang anak. Pentingnya pemantauan terhadap penggunaan internet wajib dilakukan oleh para orang tua (khususnya ibu).
Bukan hanya terhadap akses ke situs yang berbau pornografi, tapi juga akses ke paparan kekerasan dan radikalisme. "Jadi ada kejadian seorang anak yang semula dia lihat darah saja tidak berani. Lalu gara-gara terlalu banyak menonton video kekerasan di ponsel dia jadi lumrah dengan kekerasan dan tidak menganggap kekerasan itu hal yang tabu," kata Khofifah.
Dalam sejumlah forum Muslimat dan pengajian hal ini sering ia sampaikan.Agar orang tua tidak terlalu bebas memberikan anak-anak gadget. Tapi juga terus memantau penggunaannya.
Ilustrasi Anak Memainkan Smartphone Sebelum Tidur. (Sumber gambar: panduanhidupsehat.com)
Menggunakan gadget dalam bekerja atau sekedar untuk membuka media sosial sebelum tidur adalah perilaku yang buruk lhoo ternyata. Tapi, tahukah Anda bahwa terlalu sering memainkan gadget dalam sehari juga berpengaruh pada pola tidur Anda.
Menurut laporan penelitian yang telah dilakukan pada 5.242 anak-anak remaja berusia 11-20 tahun di Ontario, Kanada, menunjukkan penggunaan media sosial (termasuk WhatsApp dan Facebook) selama satu jam sehari, berdampak besar terhadap tidur anak. "Menatap layar gadget telah menjadi hal yang biasa dalam kehidupan kita sehari-hari dan kita baru mengerti soal bahaya dan keuntungannya," kata Dr Jean Philippe Chaput, peneliti yang melakukan riset ini. Hampir 63,6% responden memiliki waktu tidur lebih sedikit dari yang direkomendasikan, yaitu 7-8 jam setiap malam.
Para remaja yang mengakses gadgetnya dan media sosial lebih dari satu jam, durasi tidurnya terpotong lagi menjadi lebih singkat. Padahal, remaja generasi Z, sebagian besar sudah memegang dan memiliki gadget dan memainkannya sepanjang hari bahkan tanpa mengenal batasan dan waktunya. Studi tersebut berfokus pada anak-anak. Bagaimana hasilnya terhadap orang dewasa? Orang dewasa bisa saja menatap layar komputer atau gadgetnya seharian penuh. Apakah efeknya lebih parah? Bisa jadi.
Penelitian sebelumnya menyebutkan bahwa penggunaan smartphone sebelum tidur bisa mengganggu produksi melanin dalam tubuh manusia. Orang yang sering menatap layar smartphone-nya diketahui lebih susah mencapai tidur nyenyak di malam hari. Masalah Kurang tidur juga bisa berdampak negatif terhadap kesehatan mental seseorang.
Demikianlah ulasan lengkap dari Jarco kali ini, mengenai Anak di Era Generasi Z yang perlu kita ketahui dan waspadai sejak dini. Mari share artikel ini agar dapat dirasakan manfaatnya oleh banyak orang.
Sekian dulu dan terima kasih banyak atas kunjungannya. Sampai ketemu lagi di artikel lainnya.
Sumber:
Tirto.id
Kompas.com
Surya.co.id
Kembali ke Beranda jawaracorpo.com
Sosial Budaya : Di media sosial Twitter telah terjadi kegaduhan dengan tagar #uninstallbukalapak, yang merujuk pada ...Klik Lihat Detail
Sosial Budaya : Sebentar lagi liburan panjang nih, tapi masih bingung mau liburan kemana? yuk kunjungi 9 spot instag ...Klik Lihat Detail
Sosial Budaya : Pada malam 31 Desember 2018, orang akan beramai-ramai merayakan malam tahun baru di daerahnya masing ...Klik Lihat Detail
Sosial Budaya : Generasi Z merupakan peralihan dari Generasi Y dimana teknologi sedang berkembang. Pola pikir mereka ...Klik Lihat Detail
Sosial Budaya : Generasi Z adalah mereka yang lahir pada rentang tahun 1998—2014. Generasi ini merupakan orang-or ...Klik Lihat Detail